It’s takes two, to tango

It’s takes two, to tango

Mungkin istilah di atas sudah tidak asing lagi ya. Istilah ini memang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan. Suatu hubungan itu terdiri dari dua orang, dua kepala, yang artinya apapun yang terjadi dalam hubungan tersebut adalah hasil atau merupakan tanggung jawab dari kedua orang yang berada di dalamnya, bukan hanya salah satu.

Continue reading “It’s takes two, to tango”

Jadi, kita itu hidup untuk siapa?

Live your life

“Aku cape deh kalau harus ikutin semua tuntutan orang tua?”

Sekarang pertanyaannya, siapa yang mengharuskan? Mereka? Apa kita yang “merasa” punya keharusan? Apakah iya mereka pernah secara gamblang menyampaikan hal tersebut??

Continue reading “Jadi, kita itu hidup untuk siapa?”

Do the Unexpected!

Picture courtesy: unsplash.com

HAAAAIIIIII apa kabar semuanya? How is your life? anything different during this pandemic? I hope you all stay healthy, sane, and happy during this hard time yaa…

Nah, jadi sekarang aku akan cerita lagi sih tentang how this pandemic make me do what I thought before is hard, in this time I decided to get out of my comfort zone, and surprisingly I still ok and I enjoy this new role. Jadi langsung aja ya masuk ke ceritanya? hehehe

Oke, seperti yang temen-temen tau, aku lulus di tahun 2018, dan setelah lulus pun langsung menikah dan ikut suami. Di awal-awal nikah aku cukup idealis dalam cari kerja, dulu aku selalu mikir “aku pengen kerja di Biro psikologi atau rumah sakit, pokoknya bener-bener sejalan sama perkuliahan ku yg aku jalanin sebelumnya.” Tapi ternyata memang suliiiit dapet pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan idealisku, akhirnya aku bergabung di platform konseling online dan mengembangkan biro psikologi ku sendiri. Jujur, dengan kondisi usaha suami ku saat itu, aku nyaman dengan pekerjaan yang sudah aku lakukan, apalagi saat anak pertamaku lahir, bahkan sempat terpikir untuk ngga cari pekerjaan lagi hahahahaha (my bad!).

Tapiii semua berubah ketika pandemi mulai masuk ke Indonesia, usaha suami yang di dunia pariwisata harus mati total. Otomatis pemasukan pun berkurang drastis, karena harus aku akuin, salary ku sebagai psikolog lepas, dan biro pun belum bener-bener berkembang ya ngga seberapa, paling cukup untuk beli boba sama pampers anak. Dulu sempat berharap setelah lebaran 2020 kondisi Indonesia akan membaik, tapi ternyata ngga ada perubahan sama sekali, pemasukan dari sektor pariwisata masih bisa dibilang mati. Setelah beberapa kali ngobrol sama suami, akhirnya aku terdorong lagi untuk cari kerja, kali ini tingkat idealisnya makin turun, semua pekerjaan yang membutuhkan klasifikasi pendidikan yg aku miliki, pasti aku apply, dari mulai psikolog praktek, pembicara, HRD, konselor, sampai guru. Padahaaall dulu aku selalu merasa bahwa aku ngga akan cocok jadi guru dan aku ngga bakal menikmati pekerjaan ini.

Sampai pada akhirnya aku berkesempatan untuk menjadi konselor part-time di salah satu sekolah swasta di Jakarta, Tangerang sih lebih tepatnya. Nah, salah satu tugas konselor di sana adalah juga mengajar, awal-awal perasaan ragu antara bisa atau nggak masih sering dateng, setiap mau ngajar pasti deg-degan banget, ditambah bahasa pengantarnya pakai Bahasa Inggris. Tapii ternyata, setelah dijalanin selama 1 bulan, ketemu sama temen-temen guru yang lain, kok menyenangkaan, aku nyaman, bahkan ketika melihat karya anak-anak aku merasa terharu dan langsung berpikir, “aku ternyataa bisa!” Dan yang awalnya aku hanya sebagai part-time dengan kontrak 4 bulan, aku malah berharap untuk bisa lanjut kerja di sana, yang Alhamdulillah nya tercapai.

Jadi pelajaran apa yang aku dapat? Kayaknya aku ngga boleh liat semua pekerjaan dengan sebelah mata, nggak boleh judge suatu pekerjaan kalau belum bener-bener coba. Kondisi sulit kemarin, gara-gara pandemi memaksaku untuk keluar dari zona nyaman yang ternyata baik untuk pribadiku. Dengan jadi guru dan konselor anak-anak sekolah, yang sebenernya agak melenceng dari apa yang aku pelajari saat kuliah dulu, aku jadi terdorong untuk terus belajar, ditambah bahasa pengantar mereka bahasa Inggris, ya mau ngga mau harus latihan lagi kan ngomong dan nulis bahasa Inggris, Sebenernya ini sesuai dengan visi-misi sekolah tempatku kerja sekarang sih “Lifelong learner” ada yang bisa tebak sekolah apa? hahaha.

Memang di satu sisi, kondisi pandemi ini bikin marah, kesel, dan lain sebagainya, kesal karena ruang gerak otomatis superduper dibatasi, jangankan buat jalan-jalan ke mall atau restoran, buat ketemu keluarga besar aja susahnya minta ampun, rencana yang udah dibuat mau ngga mau harus berubah. Tapi di sisi lain, aku juga bersyukur, dengan adanya pandemi ini aku jadi berani untuk keluar dari zona nyaman dan nemuin hal lain yang ternyata aku suka.

Last, I want to thank me for having dared to get out of my comfort zone all this time. Thank you for my husband and family for always supporting me thru all this time. Thank you to my son for for my son who has been willing to work together all this time, and the last thank you to Sekolah Cikal for the opportunity and I hope I can grow and fit to work here! 🙂

How to Deal with Baby blues

bastien-jaillot-eJwSOguD1rE-unsplash
picture from unsplash.com

Halo para pembaca, akhirnya bisa nulis lagi setelah 2 bulan vacoom hehe.

Kali ini aku juga mau cerita tentang menjalani peran baru sebagai ibu, baru sih, baru satu bulan belakangan ini, tapi buatku ini bener-bener kejadian dan perubahan besar. Dulu ketika belum nikah bahkan saat lagi hamil selalu mikir kalau aku ngga akan ngalamin yang namanya baby blues. Dan ternyata perikiraanku salah, ya, seminggu pertama (terutama) jadi waktu paling berat buatku, apalagi setelah keluar dari rumah sakit. Luka jaitan yang masih sakit, kondisi fisik yang masih lelah sehabis melahirkan, sampai ada manusia kecil baru yang menggemaskan tapi juga membingungkan (saat itu). Buatku yang baru punya anak pertama kali, dan ngurus bayi newborn pertama kali benar-benar buta tentang apa yang harus dilakuin, jangankan pengalaman mandiin, gendong bayi merah aja belum pernah sebelumnya. Hasilnya hari-hari di minggu pertama dihiasi dengan tangisan malam-malam sambil minta peluk suami, hahaha. Penyebab nangisnya juga beda-beda, ada yang ngerasa kok jauh sama suami, ngerasa kok aku cuma bisa ngerepotin orang, ketakutan aku bisa ngga ngerawat bayi kecil ini, sampai nangis karena bayinya ngga kunjung tidur :D. Continue reading “How to Deal with Baby blues”

Mulai Bisnis dengan modal nol rupiah, Why not?

nick-morrison-FHnnjk1Yj7Y-unsplash

Halo teman-teman pembaca atau sesama blogger yang masih setia membaca blog ini meskipun nulisnya jarang-jarang. Maaf ya, rencana konsisten buat nulis sebulan sekali masih belum bisa terlaksana. Padahal keinginan untuk nulis tentang psikologi, refleksi diri, ataupun self-help tuh udah sering banget. Tapi selalu mentok di ide dan ngga tau mau ngangkat tema apa. Mungkin karena akhir-akhir ini otak lagi sibuk mikirin untuk ngembangin usaha pribadi yang masih berhubungan dengan dunia psikologi sih. Continue reading “Mulai Bisnis dengan modal nol rupiah, Why not?”