Psychologist’s Life

Add a hading

“You know too much psychology when you can’t get mad because you understand everyone’s reasons for doing everything.” – Via (The Minda Journal)

Halo teman-teman semua, apa kabar? Sebelum mulai ada satu pertanyaan yang ingin aku tanyakan ke temen-temen semua, terutama temen-temen blogger. Gimana caranya buat bikin tulisan rutin secara konsisten? Aku jangankan seminggu sekali, sebulan sekali aja nggak sanggup. Jujur, aku salut sekali sama mereka yang bisa secara konsisten membuat konten di blognya. KENAPA SAYA KOK SUSAH BANGETTTT! ☹

Pertama mungkin aku bukan tipe blogger/reviewer tentang sesuatu, ngga biasa untuk membuat konten mengenai ulasan tentang suatu hal, kecuali suatu hal tersebut benar-benar berkesan buat diriku sendiri. Seperti yang temen-temen sendiri tau, aku udah coba beberapa kali sharing tentang review buku, film, tempat, bahkan make up  sekalipun. Tapi kalua disuruh untuk konsisten nulis konten itu sepertinya aku ngga sanggup. Sebenernya satu-satu konten yang paling aku suka adalah menuliskan opiniku tentang suatu hal atau pengalamanku yang bisa jadi refleksi diri buatku sendiri maupun orang lain, tapiiii cari ide tentang ini ngga bisa secepat cari konten ulasan. Ya, mungkin sejauh ini itu jawabannya kenapa aku ngga bisa konsisten rutin nulis seminggu atau bahkan sebulan sekali, karena buat nemu ide nya juga harus ada suatu hal besar terjadi dulu di lingkungan atau diriku sendiri.

Oke, sekarang kita langsung masuk ke tema utamanya aja ya.. Kali ini, aku mau cerita tentang pengalamanku menghadapi berbagai jenis klien, yang aku tangani baik secara online ataupun secara langsung. Setelah kurang lebih satu tahun, bahkan 2 tahun (jika Kerja Praktek ikut dihitung) menghadapi berbagai jenis orang, banyak banget pengalaman, perasaan, dan pikiran yang hadir. Nggak jarang juga emosi ikutan teraduk-aduk setelah menghadapi klien. Makin sini makin paham kenapa seorang psikolog ngga menerima klien lebih dari 3 orang, bukannya nggak mau, tapi lebih ngga sanggup. Coba temen-temen bayangin, satu sesi konsultasi dengan psikolog itu biasanya selama 60 menit. Selama 60 menit itu juga klien akan mencurahkan semua permasalahannya kepada kami, ataupun kalua misalnya kliennya sulit untuk bercerita, kami sebagai psikolog harus puter otak gimana caranya supaya mereka bisa mulai bercerita. Kira-kira kenapa sih psikolog ingin setiap kliennya terbuka? Supaya kami juga bisa sepenuhnya memahami permasalahan mereka dan berusaha membantu mereka untuk menemukan penyelesaian masalahnya. Artinya kami juga harus ikut memikirkan masalah mereka dan bagaimana supaya mereka bisa menemukan cara penyelesaiannya sendiri.

Beberapa orang terdekatku suka bertanya, ‘cara untuk supaya ngga kebawa stres gimana caranya? Setelah jadi tempat sampah buat semua masalah orang.’ Yap, psikolog juga manusia yang memilki permasalahannya sendiri, maka dari itu sebenarnya setiap psikolog terutama psikolog muda (baru) pasti punya cara untuk refreshing atau sekedar mengeluarkan beban orang lain yang ikutan nempel di diri mereka. Dari mulai dengan melakukan hal yang disuka, nonton serial atau tv show favorit, makan enak, karokean, cerita sama orang terdekat, diskusi sesama profesi, atau membuat jurnal.

Tantangan buatku pribadi kalau ketemu klien adalah, berusaha untuk tetap obyektif (meskipun masalah yang diceritain memancing subyektifitas aku banget), permasalahan yang udah ada sangkut pautnya sama agama, dan yang paling sering bikin jengkel (maaf nih ya) klien-klien yang susaaah banget dikasih tau. Beberapa kali aku selalu curhat sama suami kalau nemu klien yang “batu” gitu, terus tau ngga responnya apa? “ya namanya juga klien, pasti bermasalah. Kalau dia baik-baik aja dia nggak akan hubungin kamu.” Ya iya sih, tapi jujur energi itu rasanya langsung habis sehabis-habisnya setiap udah nanganin klien yang kayak gitu. Terus biasanya apa yang aku lakuin setelah konsultasi dengan mereka selesai? Nonton film atau serial comedy yang lucu banget atau ngga tidur, supaya energinya kekumpul lagi.

Ya, seorang psikolog juga manusia, yang pasti punya permasalahan sendiri dan juga punya mental yang harus terus dijaga agar tetep sehat. Kebayang ngga sih, kalau psikolognya sendiri memiliki permasalahan mental, gimana bisa bantu orang lain? Intinya, aku punya tugas yang nampaknya harus aku lakukan selama mau menjalani profesi sebagai psikolog, yaitu keep my self sane. Berat? Hmm… sepertinya ngga, karena aku senang melakukan semua ini, walaupun kadang kalau udah mumet banget cukup bikin emosi bergejolak juga.

Dulu ada seorang teman yang juga seorang dokter pernah berkata bahwa menjadi seorang dokter itu harus memiliki panggilan di dalam dirinya, ngga semua orang bisa jadi dokter karena ya tanggung jawabnya yang cukup besar. Sekarang aku sadar, bahwa hal ini juga berlaku untuk seorang psikolog.

Terakhir, pesanku untuk semua rekan sejawat di luar sana, “mari terus berjuang untuk orang-orang yang membutuhkan kita. Yes, they need us, and I know we can do it.” ❤ 

Leave a comment